SEPOTONG
DIAM
Awal pertama membeli
bukan karena judul novel tersebut. Tetapi karena potongan harga yang diberikan
waktu itu dan juga novel tersebut merupakan novel juara dua AGP. Saya adalah
salah satu penyuka buku-buku yang best seller atau pun juara. Karena kemungkinan
isi buku tersebut pasti bagus karena bisa sampai best seller ataupun juara. Dan
juga buku yang kemungkinan tak mudah ditemukan di toko buku bahkan harus ke
penerbit langsung untuk memperolehnya.
Jujur saat membaca
judul novel tersebut saya memang tak begitu berminat. Sepotong diam? Apa
maksudnya? Saat buku itu sampai ditangan saya, tak langsung saya antusias untuk
membacanya. Sampai buku itu tergeletak saja di meja beberapa hari. Sampai akhirnya saya penasaran
juga dengan isi novel tersebut.
Awal membaca saya tak
begitu tertarik. Tetapi mulai tertarik saat di potongan pertama dan selanjutnya
yang ada penjelasan tentang ta’aruf. Jujur dalam novel tersebut seolah saya
menemukan jawaban atas pertanyaan saya selama ini yaitu tentang ta’aruf.
Seperti apa dan bagaimana proses yang seharusnya dilakukan? Apa yang boleh dan
tidak boleh? Lama-lama saya penasaran dengan novel tersebut lebih penasaran
dengan proses ta’aruf yang diceritakan dalam novel itu. Rasa penasaran itu
membuat saya selalu kepikiran disaat novel itu sedang tak bersama saya. Karena
saat saya di luar rumah maka novel itu saya tinggal di dalam kamar.
Mengikuti alur
ceritanya membuat seolah saya masuk ke dalamnya hingga akhir. Akhirnya seperti
judul novel tersebut yang bisa saya lakukan “sepotong diam”. Diam menerima
ending dari novel itu. Diam menerima segala takdir yang tak bisa ditolak.
Kalimat tentang “belajarlah pada malam semakin larut semakin gelap dan pekat
itulah cahaya akan segera datang” menjadi kalimat tersendiri yang mempunyai
energi didalamnya. Energi untuk hidup. Energi untuk tak menyerah.
Namun yang disayangkan
dan membuat agak sedikit kecewa adalah “bagaimana akhirnya khalid dan dhisya
mendapatkan restu itu? Dan bagaimana hingga akhirnya dhisya meninggal?”. Hal
itu membuat saya penasaran hingga saya hanya bisa menerka-nerka saja seperti
apa cerita itu namun tak
bisa tetap saja rasa penasaran itu ada dan membuat kepikiran. Ada rasa tak puas
disini rasanya.
Melihat profil penulis saya simpulkan bahwa novel ini
kemungkinan sebuah kisah pribadi yang terjadi pada kehidupan penulis. Walaupun mungkin
tak semua kisah itu dituangkan. Tapi jujur saya lebih suka akan hal ini. Saya lebih
suka jika sang penulis menuliskan kisah atau pengalaman pribadinya. Bukan pengalaman
atau kisah orang lain ataupun kisah dunia khayal. Karena hal itu lebih asli dan
bukan dibuat-buat. Sehingga kesan inspiratif lebih ada didalamnya dan lebih
mengena.
Harapanku semoga novel
ini tak difilmkan karena buatku jika sebuah novel sudah difilmkan maka
kemungkinan keaslian dari novel itu sudah tak terjaga lagi. Karena biasanya
beberapa yang ku dapatkan seperti itu. Apa yang aku baca dan aku tonton tak
semuanya sama. Ada beberapa alur yang
terkadang dihilangkan atau bisa juga dilebih-lebihkan. Lagipula jika sebuah
novel sudah difilmkan membuat orang yang malas membaca akan semakin malas
membaca. Karena kemungkinan mereka akan lebih memilih menonton dibanding
membaca. Waktu yang dibutuhkan untuk keduanya juga berbeda. Jika menonton
mungkin hanya butuh waktu dua sampai tiga jam. Tetapi jika membaca tak semua
memiliki waktu yang sama untuk menghabiskan satu novel saja. Bisa ada yang
hanya butuh beberapa jam saja tetapi bisa juga membutuhkan waktu beberapa hari.