apurus rinufa

tulisan sebagai pengingat terutama untuk diri sendiri dan bukan bermaksud untuk menggurui atau apapun. sekedar share dan eksplor saja. maaf jika tak berkenan. trima kasih.

Kamis, 22 Oktober 2015

sepotong diam




SEPOTONG DIAM

Awal pertama membeli bukan karena judul novel tersebut. Tetapi karena potongan harga yang diberikan waktu itu dan juga novel tersebut merupakan novel juara dua AGP. Saya adalah salah satu penyuka buku-buku yang best seller atau pun juara. Karena kemungkinan isi buku tersebut pasti bagus karena bisa sampai best seller ataupun juara. Dan juga buku yang kemungkinan tak mudah ditemukan di toko buku bahkan harus ke penerbit langsung untuk memperolehnya.

Jujur saat membaca judul novel tersebut saya memang tak begitu berminat. Sepotong diam? Apa maksudnya? Saat buku itu sampai ditangan saya, tak langsung saya antusias untuk membacanya. Sampai buku itu tergeletak saja di meja  beberapa hari. Sampai akhirnya saya penasaran juga dengan isi novel tersebut.

Awal membaca saya tak begitu tertarik. Tetapi mulai tertarik saat di potongan pertama dan selanjutnya yang ada penjelasan tentang ta’aruf. Jujur dalam novel tersebut seolah saya menemukan jawaban atas pertanyaan saya selama ini yaitu tentang ta’aruf. Seperti apa dan bagaimana proses yang seharusnya dilakukan? Apa yang boleh dan tidak boleh? Lama-lama saya penasaran dengan novel tersebut lebih penasaran dengan proses ta’aruf yang diceritakan dalam novel itu. Rasa penasaran itu membuat saya selalu kepikiran disaat novel itu sedang tak bersama saya. Karena saat saya di luar rumah maka novel itu saya tinggal di dalam kamar.

Mengikuti alur ceritanya membuat seolah saya masuk ke dalamnya hingga akhir. Akhirnya seperti judul novel tersebut yang bisa saya lakukan “sepotong diam”. Diam menerima ending dari novel itu. Diam menerima segala takdir yang tak bisa ditolak. Kalimat tentang “belajarlah pada malam semakin larut semakin gelap dan pekat itulah cahaya akan segera datang” menjadi kalimat tersendiri yang mempunyai energi didalamnya. Energi untuk hidup. Energi untuk tak menyerah.

Namun yang disayangkan dan membuat agak sedikit kecewa adalah “bagaimana akhirnya khalid dan dhisya mendapatkan restu itu? Dan bagaimana hingga akhirnya dhisya meninggal?”. Hal itu membuat saya penasaran hingga saya hanya bisa menerka-nerka saja seperti apa cerita itu namun tak bisa tetap saja rasa penasaran itu ada dan membuat kepikiran. Ada rasa tak puas disini rasanya.

Melihat profil penulis saya simpulkan bahwa novel ini kemungkinan sebuah kisah pribadi yang terjadi pada kehidupan penulis. Walaupun mungkin tak semua kisah itu dituangkan. Tapi jujur saya lebih suka akan hal ini. Saya lebih suka jika sang penulis menuliskan kisah atau pengalaman pribadinya. Bukan pengalaman atau kisah orang lain ataupun kisah dunia khayal. Karena hal itu lebih asli dan bukan dibuat-buat. Sehingga kesan inspiratif lebih ada didalamnya dan lebih mengena.

Harapanku semoga novel ini tak difilmkan karena buatku jika sebuah novel sudah difilmkan maka kemungkinan keaslian dari novel itu sudah tak terjaga lagi. Karena biasanya beberapa yang ku dapatkan seperti itu. Apa yang aku baca dan aku tonton tak semuanya sama.  Ada beberapa alur yang terkadang dihilangkan atau bisa juga dilebih-lebihkan. Lagipula jika sebuah novel sudah difilmkan membuat orang yang malas membaca akan semakin malas membaca. Karena kemungkinan mereka akan lebih memilih menonton dibanding membaca. Waktu yang dibutuhkan untuk keduanya juga berbeda. Jika menonton mungkin hanya butuh waktu dua sampai tiga jam. Tetapi jika membaca tak semua memiliki waktu yang sama untuk menghabiskan satu novel saja. Bisa ada yang hanya butuh beberapa jam saja tetapi bisa juga membutuhkan waktu beberapa hari.