apurus rinufa

tulisan sebagai pengingat terutama untuk diri sendiri dan bukan bermaksud untuk menggurui atau apapun. sekedar share dan eksplor saja. maaf jika tak berkenan. trima kasih.

Minggu, 12 Juni 2016

rujuk balik

RUJUK BAWA BALIK

Kamis 26 mei 2016 kebetulan saat itu sedang dinas sore dan ada rencana pasien perinatologi dengan atresia yeyenum yang akan dirujuk ke rumah sakit lain jika memang tempatnya ada. Mengingat sang dokter di rumah sakit kami sedang tidak ada selama beberapa waktu sedangkan sang pasien harus segera dioperasi maka dari itu sang dokter menyarankan agar pasien tersebut di rujuk ke rumah sakit lain yang mempunya dokter bedah anak.

Sekitar pukul 14.00 wib sang keluarga mengabarkan bahwa ada tempat untuk sang pasien di rumah sakit (RSAB) rujukan. Kemudian konfirmasilah kami kepada rumah sakit rujukan itu dan sekitar pukul 15.00 wib kami mendapat kabar dari mereka untuk membawa pasiennya sekarang. Karena itu maka langsunglah kami membawanya.

Sang teman mengatakan kepada saya bahwa “rujuknya dengan si A yah”. Saya jawab “yaudah tak apa yang penting tidak sendiri”. Saat saya memberitahu si A untuk rujuk, apa yang ia katakan? Si A mengatakan “rujuk sendiri ajah”. Saya katakana “tidak mau jika merujuk sendiri”. Lalu si A mengatakan lagi “yaudah berdua dengan siswa ajah” Dengan gampangnya ia mengatakan seperti itu. Tidak berpikir apa yah? Pasien itu tanggung jawab kita, bukan siswa yang sedang praktik. Memang kalau ada masalah apa-apa mereka yang akan ditanya-tanya dan tanggung jawab dengan keluarga serta rumah sakit. Mengapa saya tak mau merujuk sendiri? Supaya jika terjadi hal yang tak diinginkan di jalan ada saksi mata dan bukan berstatus sebagai siswa praktik, bisa dijadikan tukar pikiran juga. Mungkin suatu saat si A tersebut mau kali yah merujuk sendiri dengan siswa? Karena itu yang ia katakan kepada saya dan saya kecewa dengan hal tersebut. Memang bisa yah merujuk itu sendiri? Tim code blue saja untuk pasien dewasa minimal 5-7 orang kemudian untuk neonates jika terjadi gagal napas dibutuhkan 3 orang. Itu sih yang saya ketahui. Maaf juga jika sok tahu. Yang pasti saya tak mau jika harus merujuk sendiri. Beruntungnya ada seorang teman yang masuk malam dan kebetulan ada di ruangan saat sore hari dan juga mau dengan sukarela tanpa diminta untuk menemani saya merujuk pasien tersebut. Yang pasti orang tersebut bukan si A.

Sekitar pukul 16.00 barulah kami berangkat ke rumah sakit tersebut karena harus mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan pasien dan rujukan pula. Sekitar pukul 18.30 sampailah kami di IGD rumah sakit rujukan karena macet. Sampai sana pasien yang kami bawa memang langsung ditangani oleh sang perawat pria dan ia mengatakan bahwa kami jangan pulang dulu sebelum sang pasien mendapat kamar dan dibawa ke ruang perawatan. Kemudian sekitar jam 19.00 wib keluarga di suruh mendaftarkan pasien di bagian pendaftaran. Entah dikonsulkan dahulu pasien yang kami bawa tersebut atau tidak, yang pasti kami menunggu hingga akhirnya sekitar pukul 20.00 wib sang perawat pria itu memberi surat permintaan kamar kepada keluarga untuk kemudian mendaftar lagi ke bagian pendaftaran.
 

Tak lama setelah kami sampai di IGD rumah sakit rujukan, ada lagi pasien bayi yang dirujuk dari RSSA Karawaci dengan spina bifida. Parahnya ia merujuk tidak dengan orang tua di ambulan namun memakai kendaraan pria karena macet maka sang orang tua pasien tersebut tak sampai bersamaan dengan ambulan dan juga surat rujukan hanya ada di keluarga pasien sehingga susah lah perawat IGD untuk melakukan anamnesa dan lainnya. Sehingga pelayanan pun menjadi terhambat yang seharusnya sudah ditangani menjadi terlambat.

Disela-sela menunggu tersebut dan juga ada perawat dari RSSA Karawaci yang juga merujuk pasien perinatologi, tiba-tiba sang perawat pria menunjukkan kepada kami surat rujukan yang berasal dari rumah sakit kami.
“ini pasienmu bukan” kata sang perawat pria.
“dari RSU sih, tapi bukan dari ruangan kami” kata kami (aku dan teman) sambil melihat dan membaca sekilas surat tersebut.
“tapi rujukannya dari rumah sakitmu kan?” kata sang perawat pria sambil menunjukkan kepala surat rujukan tersebut
Karena tak bisa mengelak maka kami pun menjawab “iya”
“nih pasiennya kejang, ada rujukan tanpa ambulans dan perawat”
“pulang paksa kali” jawab kami berusaha untuk mengelak
“kalau pulang paksa ada keterangannya, masalah nih” kata perawat pria dan kami hanya bisa diam setelah itu ia pun pergi.

Akhirnya perawat RSSA itu pun mengetahui soal perawat pria yang menunjukkan kepada kami sebuah surat rujukan. Kami pikir itu hanya teguran sebagai peringatan dan pemberitahuan saja. Saat perawat pria itu pergi saya menyuruh teman untuk mengontak orang yang kira-kira berasal dari ruangan pasien itu, namun nihil karena orang yang kami kontak tak mengetahui. Ya sudah dengan tenang dan santai kami menunggu pasien yang memang kami rujuk dari awal dan bukan pasien yang kami temukan tiba-tiba di rumah sakit rujukan.

Walaupun pada pukul 20.00 wib pasien yang kami bawa dari ruang perinatologi sudah ada tempat, namun kami masih tetapi harus menunggu yaitu menunggu diantar. Karena itulah jawaban yang saya dapat saat bertanya kepada perawat pria yang sedari awal menerima pasien tersebut. Karena penasaran saya pun tanya lagi “diantar jam berapa?” dan ia hanya menjawab” sekitar jam 9 atau setengah sepuluh”. Tanpa bertanya lagi kerana ia pun telah pergi, saya jadi bingung kenapa baru diantar jam segitu. Tapi ya sudahlah akhirnya saya tunggu saja sampai jam itu tiba. Usut punya usut saat perawat pria tersebut operan dia menyebutkan bahwa ruang perawatan untuk pasien yang kami bawa dengan ambulan baru bisa diantar malam karena ruangannya baru siapa sekitar jam segitu. Entahlah.

Tibalah sekitar pukul 22.00 saat sang pasien yang kami bawa siap diantar ke ruangan, tiba-tiba sang dokter yang jaga malam memanggil kami sebagai perawat dari RSU dan menunjukkan pasien yang kejang tadi yang membawa rujukan tanpa perawat dan ambulan. Dokter tersebut menyatakan bahwa pasien itu butuh PICU dan tidak tahu apakah ada tempat atau tidak, jika tak ada tempat maka kami harus membawa kembali pasien kejang yang berasal dari ruang anak ke RSU. Kami berusaha mengelak karena itu bukan pasien dari ruangan kami. Namun sang dokter mengatakan bahwa tapi masih RSU kan? Masih tanggung jawab rumah sakit sana. Karena bingung maka langsunglah kami menelepon kepala ruang, sambil menunggu keputusan kami disuruh oleh sang dokter untuk menganamnesa keluarga pasien kejang tersebut.

Kami menanyakan bagaimana ia bisa sampai IGD RSAB ini. Ia menjawab keluar rumah sakit awal sekitar jam 4 sore kemudian ia pulang dulu dan langsung ke IGD RSAB ini dengan taxi. Kemudian kami pun menanyakan apakah ia boleh pulang atau pulang paksa. Namun sang keluarga mengaku ia boleh pulang, ia pun mengatakan saat pagi sang dokter bilang nanti dirujuk pakai ambulan namun saat sore sang perawat ruang anak bilang rujuk lepas jadi tidak pakai ambulan. Karena masih penasaran, kami pun menanyakan apa saja barang yang dibawa atau diberikan dari RS awal. Ia mengatakan hanya surat rujukan ini dan hasil rontgen. Maksudnya kami diberikan pesanan pulang atau tidak pasien ini? Karena ia mengatakan bahwa diperbolehkan pulang. Walaupun saat di IGD RSAB rujukan pasien kejang. Namun kami tidak tahu saat pulang kondisinya seperti apa, karena sang keluarga mengatakan boleh pulang. Tadinya jika ada pesanan pulang kami akan minta untuk melihat apakah benar sang pasien boleh pulang atau pulang paksa dan juga anjuran selanjutnya? Namun karena bukti tersebut tak ada ya sudah susah juga kami mengelak kepada pihak RSAB rujukan itu.

Akhirnya kami pun mendapat kabar dari RSU bahwa pasien kejang tersebut jika memang keluarga mau balik lagi silakan saja dengan catatan belum tentu ada tempat dan kemungkinan jika tempat penuh maka stay saja di IGD RSU. Karena keluarga setuju maka setelah kami mengantar pasien dari perinatology ke ruang perawatan yang memang sudah ada sejak jam 8an tadi, maka saat pulang kami membawa pasien kejang yang berasal dari ruang anak yang membawa rujukan tanpa ambulan dan perawat.

Sesuatu dan pengalaman banget. Merujuk pasien yang kemudian saat pulang membawa pasien balik dengan pasien yang berbeda dan kami tidak tahu apa-apa walaupun asal sang pasien adalah dari RSU atau RS yang sama.

Saat paginya inilah info yang didapatkan

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah jika pasien seperti kasus tersebut tak diberikan pesanan pulang sebagai bukti? Karena menurut info yang saya dapat status pasien keluar rumah sakit adalah pulang dan bukan rujuk walaupun diberikan rujukan. Sekalipun dikatakan rujuk lepas, menurut peraturan tidak ada ataupun tidak boleh rujuk lepas. Itulah yang membingungkan dan belum terjawab sehingga membuat saya masih penasaran.