SEMPURNA
Sempurna,
satu kata yang sering didengar. Satu kata yang menunjukkan bahwa sesuatu hal
lengkap, utuh, tak ada cacat sedikit pun. Satu kata pula yang mungkin
diinginkan setiap orang dalam segala hal. Bolehkah manusia berharap sempurna
atau menginginkan hal yang sempurna? Sedangkan seperti yang kita ketahui tak
ada manusia yang sempurna dan setiap segala sesuatu hal baik manusia atau
lainnya pasti memiliki kelebihan dan kelemahan. Lalu pantaskah kita sebagai
manusia menginginkan kesempurnaan? Apalagi kita menginginkan kesempurnaan itu
berasal dari diri orang lain tanpa mengukur diri sendiri, apakah kita sempurna
sehingga menginginkan yang sempurna?
Contoh
simpel yang menurut saya adalah dalam memilih pasangan. Awalnya saya pikir
orang yang sudah berumur namun belum juga menikah itu hanya ada dalam dongeng
atau pun televisi saja. Walaupun apa yang ada di televisi itu ada kalanya
sebuah kenyataan. Namun bedanya terkadang apa yang ada di televisi belum tentu
ada di lingkungan sekitar atau bahkan sangat dekat dengan kita. Itulah awal
yang saya pikir terutama tentang jodoh. Jujur saya cukup kaget saat mengetahui
bahwa ada beberapa teman saya yang mungkin jika dilihat dari usia seharusnya
sudah berumah tangga dan bahkan ada yang bilang “seharusnya sudah punya anak dua tuh”. Walaupun jujur saya sendiri
belum menikah. Namun yaitu saya cukup kaget juga dengan apa yang saya temui dan
ketahui. Seseorang yang saya pikir sudah menikah atau sekalipun belum menikah
usianya tak jauh dari usia saya. Namun ternyata tidak. Pantas saat mengenalnya
ada sesuatu yang aneh yang saya rasa. Karena biasanya jika saya mengajak
seseorang yang sudah berumah tangga dan punya anak, pastinya ada kesan
terburu-buru ingin cepat selesai jika sedang bersama saya, saya pahami hal ini.
Karena pastinya bersama dengan suami dan anak adalah lebih penting ketimbang
bersama saya. Inilah yang terkadang membuat saya sedih saat ditinggal menikah
oleh teman-teman sebaya saya yang berarti terkadang saya harus mencari teman
yang masih sama-sama belum menikah. Karena pasti ruang lingkup dan tanggung
jawabnya pun akan berbeda.
Jujur
terkadang ada hal penasaran mengapa sampai usia itu belum juga berumah tangga?
Apakah ada masalah? Walaupun seandainya ada pertanyaan itu terlontar kepada
saya mungkin saya hanya akan bisa menjawab dengan jawaban “belum waktunya” atau “belum
bertemu dengan jodohnya”. Namun itu bukan sebuah jawaban yang memuaskan
untuk saya saat saya sedang penasaran dengan mengapa ia belum juga menikah? Ya
saya tahu jika Allah SWT belum berkehendak maka apapun yang kita rencanakan
maka tak akan berhasil. Namun rasa penasaran itu belum terobati juga. Akhirnya
saya beranikan diri untuk bertanya langsung kepada narasumbernya hehehe. Dan
jawaban yang saya dapat yaitu “belum ada
yang sreg ajah” dengan santainya ia mengatakan seperti itu. Ada juga
jawaban dari teman-temannya yang menurut pandangan mereka adalah “dia mah pilih-pilih” dan “dia mah nyari yang sempurna”. Untuk
jawaban yang “pilih-pilih” baiklah
saya setuju dengan hal ini karena memang bukankah kita harus selektif dalam
memilih apapun itu terutama juga pasangan, namun baiknya dalam memilih tersebut
tetapkan kriteria yang akan menjadi sebuah prioritas dalam pilihan nantinya.
Namun dengan jawaban “sempurna” itu
membuat saya berpikir “pantaskah mencari
yang sempurna sedangkan kita sendiri tak sempurna? bukankah Allah SWT memberi
sesuai dengan hambaNya? Dalam arti wanita baik-baik untuk laki-laki baik-baik
dan begitu juga sebaliknya? Dan yang pasti yang Allah SWT berikan itu adalah
yang terbaik, karena Allah SWT memberi yang kita butuhkan bukan yang kita
inginkan? Lagi pula menikah itu bukankah untuk menggenapkan setengah agama,
yang berarti jika diibaratkan yang satu punya setengah dan yang satu lagi juga
punya setengah kemudian disatukan dalam pernikahan maka bukankah yang sama-sama
setengah itu akan menjadi satu? Satu yang berarti sempurna. Yang berarti
sempurna karena pernikahana, sempurna melalui proses pernikahan. Tetapi jika
sebelum menikah sudah mencari dan menginginkan yang sempurna lebih dahulu
bagaimana?”. Jujur saya tak habis pikir dengan kriteria “sempurna” itu.
Yang ada lagi di otak saya adalah jika seseorang itu memilih pendekatan dengan lawan
jenis melalui proses yang tidak dianjurkan oleh Agama Islam semisal pacaran,
maka setiap dia punya pacar dan kemudian tidak sreg dengan lawan jenisnya itu
lalu putus kemudian dapat lagi yang baru dan tidak sreg juga, maka saya pikir
akan berapa banyak mantan pacarnya nanti yah? Hehehe. Kalau dari awal memang
sudah tidak sreg, lalu mengapa diteruskan dengan proses yang tak baik?
Sempurna,
berusaha menjadi diri sendiri yang sempurna dalam hal positif mungkin itu baik.
Tetapi jangan dibuat-buat, apa adanya saja. Namun apakah pantas juga menuntut
sebuah kesempurnaan dari orang lain?