apurus rinufa

tulisan sebagai pengingat terutama untuk diri sendiri dan bukan bermaksud untuk menggurui atau apapun. sekedar share dan eksplor saja. maaf jika tak berkenan. trima kasih.

Sabtu, 18 Juni 2016

ompong

SI A OMPONG

Selasa 14 juni 2016 kebetulan saat itu saya masuk kerja sore dan saat jam besuk seperti biasa banyak keluarga pasien yang datang untuk melihat bayi mereka. Saat itu ada keluarga bayi Ny. ST2 (karena kembar namun yang satu sudah pulang lebih dahulu) datang menjenguk bayinya dan menyusui. Kebetulan saat itu saya membedong bayinya dan ayah bertanya-tanya tentang kondisi bayi, karena saya tak begitu hapal maka saya pun mengatakan “nanti yah pak, menyusui ajah dulu yah”. Sudahlah sang bayi saya berikan kepada sang ibu untuk menyusui.

Saat di nurse station ada seorang lelaki yang mengaku ponakan Ny. ST sebut saja lelaki itu si A atau si ompong hahaha. Orang itu si A ompong berdiri di depan meja nurse station karena menurut saya mengganggu pemandangan maka saya pun bertanya keperluannya apa. Si A ompong itu pun menanyakan kondisi bayi Ny. ST2 kemudian saya tanya keluarganya (ayah dan ibunya) mana? Maksudnya adalah biar saya sekalian menjelaskan kepada orang tua bayi karena seperti itu prosedurnya.

Tak lama orang tau bayi pun disamping si A ompong itu yaitu sang ayah bayi. Saya pun menjelaskan bahwa bayinya masih harus mendapatkan therapy injeksi antibiotic. Kemudian si A ompong bertanya tentang antibiotic apa yang diberikan? Saya pun bingung awalnya dan berpikir siapa si A ompong ini sampai bertanya tentang nama antibiotic apa yang diberikan? Karena biasanya tidak pernah sampai seperti itu. Karena hal tersebut maka saya pun bertanya kepada si A ompong  siapa dia? Dengan sombongnya dia pun menjelaskan bahwa ia juga orang kesehatan yang mengerti tentang medis, direktur rumah sakit umum pun kenal dengannya, di keluarga saya cuma saya yang mengerti medis, jadi tolong jelaskan kepada saya saja. Saya mengabaikan bahwa ia kenal dengan direktur rumah sakit umum bu desi dan jika saya tak salah dengar ia pun menyebut-nyebut satu partai politik yaitu PDIP. Entahlah apa maksudnya.

Setelah itu saya pun memberitahu antibiotic apa yang diberikan. Kemudian dia pun bertanya lagi tentang hasil laboratorium terakhir maka saya pun harus membuka rekam medis untuk mengetahui hasilnya. Saya perlihatkan hasil laboratorium terakhir kepada sang ayah bayi dan si A ompong sambil menjelaskannya. Namun tak lama si A ompong marah-marah karena saya menjelaskan kepada sang ayah dan arah mata saya juga kepada dia bukan si A ompong. Dikemukakanlah siapa si A ompong dengan sombongnya, menurutnya dia mengaku mengenal dokter desi, saya bisa menelepon dokter desi sang direktur, saya mengenal semua dokter rumah sakit umum ini, saya membawahi 18 klinik, dokter-dokter itu bawahan saya, saya bisa saja memecat kamu walaupun kamu sudah lama bekerja disini, jangan kaku begitu dan bla bla bla. Saat dia berbicara seperti itu saya memilih diam karena jika orang marah-marah seperti itu saya balas maka akan menjadi semakin marah. Maka saya memilih diam untuk mendengarkan ocehannya sampai selesai. Lagipula saya pikir jika saya membalas kemarahannya yang ada saya sama saja dengan dia dan juga membuang-buang waktu apalagi saat itu mendekati berbuka puasa. Jika suasana tambah panas yang ada saya tidak buka puasa dengan yang manis malah dengan emosi selain itu tak enak juga dengan keluarga pasien yang lain. Maka saya diam dan mendengarkannya hingga selesai karena itu pun yang ia inginkan.

Teman saya yang mengetahui hal ini mencoba berbicara kepada si A ompong namun sayangnya sebelum ia bicara pun si A ompong sudah menskak duluan dengan mengatakan “sebentar saya belum selesai”. Ya sudah saya teruskan saja mendengar ocehan marah-marahnya sampai selesai. Saya pun tak ingat betul apa yang diucapkannya. Akhirnya dia pun berhenti dan meminta maaf apalagi dia juga sedang berpuasa ramadhan.

Setelah dia selesai marah-marah tadi barulah saya berbicara “saya ngerti bapak orang kesehatan dan mengerti medis, namun peraturan kami yang harus mengetahui kondisi bayi adalah orang tua bayi maka saya pun harus menjelaskan kepada orang tua bayi, toh saya menjelaskannya ada bapak dan bapak, jadi jika bapak ini (sang ayah bayi) tak mengerti bisa bertanya lagi kepada bapak (si A ompong), tak jadi masalah kan?”. Namun si A ompong itu tetap tidak terima dan mengatakan “masalah nanti seperti kaset kusut, suster mau menjelaskan berulang-ulang ke bapaknya, dia itu ga ngerti medis, dan bla-bla-bla”. Saya kembali hanya mendengarkan sampai akhirnya dia selesai. Saat selesai saya bertanya “oh yaudah pak, ada lagi? Udah?”. Dia pun kembali berbicara “Ya sudah suster begini ajah kalau ada apa-apa tolong hubungi saya”. Saya jawab saja “oh iya kalau ada apa-apa kami akan hubungi nomor handphone yang ada di rekam medis ini yah”. Dia pun masih berbicara “hubungi saya saja suster, saya minta maaf suster yang tadi marah-marah, saya memang seperti itu”. Saat itu sang ayah hanya diam saja, entahlah apa yang ada dipikirannya.

Intinya si A ompong itu tidak terima karena saya menjelaskan kondisi bayi kepada sang ayah walaupun disampingnya ada dia dan ia ingin jika ada sesuatu yang diberitahu terlebih dahulu adalah dirinya bukan orang tua bayi. Namun prosedur rumah sakit bukanlah seperti itu. Karena anak adalah tanggung jawab orang tua jadi jika terjadi sesuatu maka kami pun menghubungi orang tuanya bukan yang lain. Kecuali pada kenyataannya sang orang tua sudah tak ada lagi di dunia ini.

Menurut sang teman yang awalnya ingin berbicara saat si A ompong sedang nyerocos ngomong, orang itu si A ompong pernah ribut dengan Wakaru dan mengaku kakak atau adik Ny. ST, tapi tadi ngakunya ponakan Ny. ST, rese emang orangnya. Saya hanya bisa ber-oh dan pantas saja tadi seperti itu.

Setelah marah-marah tadi si A ompong duduk menyender tembok dengan ayah sang bayi tak lama ia pun pamit, karena saat itu saya mendengarnya walaupun sedang dibelakang, ia pun menyebutkan namanya dengan inisial A. Kemudian setelah sang ibu selesai menyusui ia pun bertanya tentang kondisi anaknya namun kali ini teman saya yang ambil alih menjelaskan. Dalam hati saya sama saja kaset kusut dong. Saya pikir urusannya sudah selesai, namun ternyata tidak karena saat saya masuk malam si A ompong kembali datang dan berulah.

16 juni 2016 saat saya masuk malam sekitar jam 10an malam si A ompong datang dan yang menemuinya bukan saya melainkan teman. Info yang saya dapatkan adalah si A ompong tak terima karena kami perawat perinatologi menghubungi orang tua bayi karena sang bayi akan tranfusi darah yang diakibatkan dari hasil hemoglobin yang rendah dan ia juga mengatakan kami “GEBLEK” kali yah. Kemudian dia pun kembali berkoar-koar dengan menyebut nama sang direktur rumah sakit umum yaitu ibu atau dokter desi. Secara prosedur memang seharusnya kami menghubungi orang tua bayi bukan orang lain sekalipun mengaku saudara. Ngaku-ngaku saudara itu gampang.

Tak lama sang perawat jaga tiba-tiba datang tanpa kami memanggilnya. Si A ompong itu pun mengatakan “suster curang ada yang belain” itu info yang saya dapat dari teman. Kemudian sang perawat jaga malah membela si A ompong itu dan mengatakan nanti kalau ada apa-apa hubungi bapak ini ajah. Saya bingung koq malah begitu sang perawat jaga. Main percaya dengan orang yang mengaku “saudara”. Ya sudah entah bagaimana akhirnya si A ompong itu menghilang dari ruangan perinatologi. Yang pasti info yang saya dapatkan juga dari teman adalah si A ompong mencorat-coret nomor handphone sang orang tua bayi hingga tak terlihat sama sekali.

Sesuatu banget itu omongan kata “GEBLEK”. Saya cukup kesal saat teman menceritakan itu. Seperti dia paling pintar sedunia saja. Toh kalau ia mengerti medis atau kesehatan seharusnya mungkin tak banyak bertanya dan mengerti juga prosedur yang seharusnya. Kalau pun dia mau marah-marah jika kami melakukan sesuatu tak sesuai prosedur. Orang aneh.

Saat paginya 17 juni 2016 sang teman menceritakan kejadian semalam dan tempo hari saat saya masuk sore. Banyak yang merespon negatif soal tindakan saya yang hanya diam ketika si A ompong marah-marah dan menganggap saya payah serta hanya berani kandang saja bahkan membawa-bawa nama KARATE. Saya pikir apa hubungannya karate dengan hal ini. Karate itu olahraga. Sekalipun karate itu olahraga keras, namun tak semua hal dapat diselesaikan dengan kekerasan. Yang ada nanti suasana akan bertambah keruh dan bermasalah berkepanjangan. Terserah mereka mau bicara apa. Karena saat itu DIAM adalah pilihan yang tepat untuk saya. Toh saat teman saya hendak bicara pun langsung di SKAK oleh si A ompong itu. Lagipula ketika seseorang nyerocos marah-marah pantaskah kita membalasnya dengan hal yang sama? Atau malah menantangnya? Bukankah nanti yang ada suasana semakin keruh? Itu yang sejujurnya yang tidak saya inginkan. Jika saya ladeni kemarahannya dengan hal yang sama bukan hanya waktu dan tenaga saya yang rugi namun puasa saya pun rugi. Waktu bisa saja akan bertambah panjang yang seharusnya dia marah-marah hanya sebentar namun karena kita menantang atau meladeninya bisa saja menjadi lama bahkan berkelanjutan.

Apakah seperti itu menangani orang yang sedang emosi marah-marah, yaitu membalasnya dengan hal yang sama? Biarkan saja orang lain menganggap saya seperti apa? Yang pasti saya punya alasan dan prinsip mengapa lebih memilih DIAM dibanding balik menantangnya. Lagipula malas juga meladeni orang seperti itu yang hanya bisa memamerkan kesombongannya. Ingat pula DIAM ITU EMAS dan setahu saya harga EMAS ITU MAHAL. Jadi bisa juga DIAM ITU MAHAL hahaha.

Banyak yang berasumsi bahwa si A ompong itu adalah LSM ataupun kader. Yah mau siapapun dia, seharusnya tak seperti itu. Pasien ya tetap pasien. Prosedur ya tetap prosedur. Mau ia kenal dengan seluruh orang di rumah sakit itu pun status keluarga pasien tetaplah seperti itu. Terkadang anehnya adalah orang-orang atasan sana itu lebih membela atau memilih mereka di banding orang yang jelas-jelas mengabdi untuk rumah sakit.


Akhirnya saat saya dinas malam kedua 17 juni 2016 malam, sang bayi Ny. ST2 itu telah pulang. Mungkin setelah tranfusi pada malam sebelumnya dimana si A ompong complain, kemudian cek darah ulang sehabis tranfusi dan mungkin hasilnya bagus maka dari itu sang bayi Ny. ST2 diperbolehkan pulang. Intinya yang saya ketahui sang bayi Ny. ST2 itu sudah tidak ada ketika saya dinas malam kedua saat itu. Untung saja sang bayi pulang ke rumah dan bukan ke rahmatullah. Karena biasanya jika ada keluarga yang rese maka kondisi sang pasien ikut-ikutan menurun. Tapi itu biasanya loh.

Jumat, 17 Juni 2016

hp hilang

HANDPHONE HILANG

Sabtu lalu 11 juni 2016 ketika pulang dari rumah sakit bukan karena kerja namun karena mengerjakan tugas skripsi di salah satu ruangan teman. Ketika pulang setelah zuhur dengan menggunakan angkot dan saat akan sampai tujuan, saya hendak mengambil dompet di tas namun ketika melihat tas resletingnya terbuka. Kemudian saat saya melihat isinya handphone saya tidak ada.

Seingat saya terakhir meninggalkan ruangan itu tak ada barang yang tertinggal dan saya ingat betul memasukkan handphone ke dalam tas. Saat di jalan sebelum naik angkot pun saya tak mengeluarkan handphone karena memang tak ada keperluan. Entah sepertinya handphone saya ada yang mengambil. Karena sebelumnya ada seorang ibu dan anak menaiki angkot dan agak ribet-ribet begitu.

Kebetulan tas yang saya gunakan adalah ransel dan tetap dibelakang tidak saya pindahkan ke depan karena saya pun duduk di pojok angkot dengan tas tertindih oleh badan saya. Tak lama ada ibu dan anaknya naik angkot dan duduk di pojok sebrang saya. Kemudian tiba-tiba ibu tersebut pindah dan mendorong saya sehingga ia berada di posisi awal saya duduk. Tas saya masih dalam posisi awal yaitu di belakang. Sang ibu tersebut membuka jendela, saya pun bingung kenapa ia pindah tempat padahal posisinya adalah sama-sama di pojok dan ada kaca jendela juga yang bisa dibuka tutup. Setelah sang ibu tersebut membuka kaca jendela dengan ribetnya, kemudian tak lama ia pun ribet menutup kaca jendela dengan alasan terlalu terbuka kelebaran atau bagaimana begitu.

Saat itu saya memang sudah mempunyai prasangka karena sang ibu tersebut terlihat ribet sekali. Namun saya tak terpikirkan akan handphone saya yang hilang. Yang saya pikir adalah jika ia akan mengambil dompet maka kemungkinan akan susah dan terasa oleh saya. Saya pun sempat melihatnya sebentar dan ada jaket ditangannya. Tak lama setelah ia ribet, ia pun turun dengan anaknya di tempat yang entah wajar atau tidak ia turun. Karena ia turun di tengah tempat perbaikan jalan.

Tak lama setelah itu karena akan turun angkot maka saya pun mengambil dompet dengan itu maka tas pun saya posisikan didepan. Namun itulah saat melihat tas tiba-tiba saya dapatkan resletingnya terbuka dan langsung saja saya melihat isinya ternyata handphone saya dengan case berwarna pink tak ada. Saya memang membawa dua handphone kemana-mana karena jika yang satu mati habis batere maka masih ada yang satu lagi yang bisa dihubungi. Namun tetaplah yang dominan adalah handphone yang casenya pink tersebut. Beruntungnya handphone yang satu berwarna hitam masih ada didalam tas di tempat yang sama dengan handphone pink tersebut.

Alhamdulillah handphone yang hilang atau diambil hanya satu. Karena berwarna pink dan mungkin juga terlihat mencolok maka itulah yang diambil dengan gampangnya. Karena handphone yang satunya berwarna hitam dan tidak terlihat jika hanya melihat tas tanpa merabanya maka mungkin tak ia ambil handphone itu.

Saat saya menyadari bahwa handphone saya hilang, awalnya memang biasa saja. Karena saya pikir handphone masih bisa beli dan bisa juga dijadikan alasan untuk membeli yang baru hehe. Namun setelah lama, saya pun bingung karena semua kontak dan data-data penting ada di dalam handphone tersebut. Bukan handphone hilang yang masalah tetapi yang jadi masalah adalah nomor handphone saya yang sudah banyak orang ketahui, juga data-data dan kontak orang banyak. Saya khawatirnya yang mengambilnya menyalahgunakan data-data saya baik berupa gambar atau video lainnya. Semoga saja tidak.

Saya pun bingung bagaimana agar nomor handphone saya yang hilang tersebut bisa kembali lagi. Akhirnya dengan menggunakan handphone hitam yang Alhamdulillah tidak hilang saya mengontak teman yang kebetulan kontaknya ada di handphone tersebut. Alhamdulillah ia bersedia membantu agar nomor handphone saya kembali lagi.


Akhirnya senin 13 juni 2016 saya dengan bantuan teman mengurus nomor handphone yang hilang agar kembali lagi dan Alhamdulillah berhasil. Akhirnya nomor handphone saya masih yang lama dan tak perlu ribet mengganti nomor handphone. Karena tentunya akan ribet jika saya membeli kartu baru dan nomor baru.

Senin, 13 Juni 2016

JARANG DATANG

PUSPEM

Kemarin minggu 12 juni 2016 setelah satu bulan yang lalu tepatnya mei selama sebulan penuh saya tak datang latihan karate di puspem maka hari itu saya sempatkan datang latihan di puspem yang kebetulan juga saya libur dari pekerjaan, perkuliahan, acara-acara seminar workshop dan lainnya. Saya akui kedatangan saya telat. Maka saat akan dilakukan TC yaitu Training Center, yang tidak atau jarang latihan diinstruksikan memisahkan diri. Sudah telat dan jarang datang pula. Maka dengan sadar saya langsung memisahkan diri. Beruntungnya saat itu ada teman saya juga yang bernasib sama yaitu jarang datang latihan di puspem (pusat pemerintahan) dengan berbagai alasan.

Sejujurnya saya ingin sekali latihan bergabung dengan TC karena materi yang didapat biasanya adalah materi yang jarang, namun apa daya jika sang pelatih tak mengijinkan. Saya pun mengerti dan maklum karena mungkin akan mengganggu yang lainnya. Ya sudahlah mau bagaimana lagi?

Jika ditanya kenapa tak pernah atau jarang datang latihan ke puspem? Maka ini jawaban saya, hari minggu yang mungkin buat sebagian orang merupakan hari libur, namun tidak bagi saya. Jadwal di hari minggu itu biasanya lebih padat dari pada hari lain. Hari minggu jika saya tak kerja ya kuliah ataupun mengikuti acara-acara seminar atau workshop dan lainnya. Itu jadwal untuk saat ini. Karena untuk ke depannya saya tak tahu akan bagaimana.

Kemudian jika ditanya, memang acara seminar setiap minggu? Sejujurnya iya, ada acara seminar yang dilakukan setiap minggu tetapi dengan penyelenggara yang berbeda dan biasanya mereka menyelenggarakan selalu di weekend jika tidak hari sabtu ya minggu mungkin juga dengan alasan tertentu karena sebagian orang kemungkinan libur di hari itu.

Kenapa rajin banget sih ikutan seminar begitu? Semua itu untuk menunjang profesi saya yaitu keperawatan. Dimana legalitas profesi atau STR (Surat Tanda Registrasi) yang saya punya akan berakhir setiap lima tahun sekali dan untuk memperpanjang dibutuhkan sekian puluh SKP (Satuan Kredit Profesi) yang bisa didapatkan salah satunya dari mengikuti seminar yang bersertifikat SKP PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia). Jika tak memiliki sekian puluh SKP, maka kemungkinan untuk memperpanjang STR tersebut harus mengikuti tes uji kompetensi profesi yang kelulusannya belum tentu dijamin. Mengingat banyak lulusan keperawatan namun secara profesi mereka tak lulus uji kompetensi sehingga harus mengulang tes agar mendapatkan STR yang berlaku. Itu yang saya ketahui. Mohon maaf jika salah.

Bukan hanya soal sertifikat atau SKP yang akan didapat jika mengikuti seminar atau workshop, namun update ilmu terbaru juga sangat saya butuhkan ataupun ilmu-ilmu lainnya. Karena jujur saya menyukai semua jenis seminar apalagi jika ada sertifikatnya hehehe sebagai bukti.

Bagaimana jika STR tidak diperpanjang? Jika tak diperpanjang maka kemungkinan tidak bisa bekerja di profesi tersebut. Karena STR itu adalah bukti legalitas profesi dan setahu saya sekarang ini untuk lulusan keperawatan yang baru lulus dan akan bekerja maka dibutuhkan STR karena itu pun salah satu syarat dari instansi pekerjaan. Mereka tak mau jika karyawannya tak memiliki STR apalagi saat-saat ini sedang musim AKREDITASI yang salah satunya adalah soal STR juga.




Maka itulah alasan saya mengapa jarang datang latihan ke puspem? Membahas soal karate yang ujung-ujungnya membahas soal profesi dan legalitas keperawatan. Bukan saya tak mau latihan di puspem, namun apa daya hari libur saya tak selalu hari minggu. Jika tak libur lalu latihan karate, jujur saya tak berani. Mengingat waktu yang bentrok dan jaga kesehatan pula. Walaupun latihan karate ini adalah olahraga untuk kesehatan tetap saja jika dilakukan dalam kondisi badan tak baik maka dampaknya pun akan tak baik pula, yang ada nanti setelah latihan kemudian kerja atau pun setelah kerja kemudian latihan tanpa ada jeda waktu istirahat yang didapat malah sebaliknya yaitu yang disebut dengan istilah KECAPEAN. Maka dari itu saya putuskan latihan jika saya sedang bebas dari pekerjaan. Karena yang namanya kerja pasti capek apalagi dibidang pelayanan 24 jam yang terkena shift dan harus standbye jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Jika saya korbankan dan paksakan untuk tetap atau selalu latihan karate di puspem setiap hari minggu, kemudian jika terjadi sesuatu siapa yang akan bertanggung jawab?. Misalnya seharusnya hari minggu saya kerja shift atau ada acara lain yang penting dan berhubungan dengan profesi ataupun keluarga, namun saya korbankan untuk tetap latihan sehingga bolos kerja. Mungkin jika bolosnya satu atau dua kali tak masalah. Namun jika setiap hari minggu saya bolos kerja dengan alasan yang sama, apakah akan dijamin saya tidak mendapatkan peringatan dari tempat pekerjaan? Karena tak semua tempat atau instansi pekerjaan mendukung dengan kegiatan karate ini. Kecuali jika memang bekerja dibidang olahraga atau lainnya yang sangat berhubungan sekali dengan karate.


Jujur saya suka dengan karate. Saya suka dengan cara berkelahi yang baik. Saya juga suka melihat film action yang ada berantem atau perkelahiannya. Namun dalam hidup ini saya pun mempunyai prioritas mana yang harus saya dahulukan dan menomorsatukan. Saya akui karate bukanlah nomor satu dalam hidup saya. Karena banyak hal lain yang lebih harus saya prioritaskan yang juga mendukung kehidupan saya nantinya. Namun saya juga tak mau lepas dari karate. Sejujurnya saya ingin tetap bisa latihan karate walaupun saya akui susah mencari waktu yang pas untuk latihan sehingga saya jarang datang ke puspem. Namun saya juga tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Karena ada contoh karateka wanita yang sudah menikah setelah itu hilang dari karate dan mengurus rumah tangga. Itulah yang saya takutkan sebenarnya.

Minggu, 12 Juni 2016

rujuk balik

RUJUK BAWA BALIK

Kamis 26 mei 2016 kebetulan saat itu sedang dinas sore dan ada rencana pasien perinatologi dengan atresia yeyenum yang akan dirujuk ke rumah sakit lain jika memang tempatnya ada. Mengingat sang dokter di rumah sakit kami sedang tidak ada selama beberapa waktu sedangkan sang pasien harus segera dioperasi maka dari itu sang dokter menyarankan agar pasien tersebut di rujuk ke rumah sakit lain yang mempunya dokter bedah anak.

Sekitar pukul 14.00 wib sang keluarga mengabarkan bahwa ada tempat untuk sang pasien di rumah sakit (RSAB) rujukan. Kemudian konfirmasilah kami kepada rumah sakit rujukan itu dan sekitar pukul 15.00 wib kami mendapat kabar dari mereka untuk membawa pasiennya sekarang. Karena itu maka langsunglah kami membawanya.

Sang teman mengatakan kepada saya bahwa “rujuknya dengan si A yah”. Saya jawab “yaudah tak apa yang penting tidak sendiri”. Saat saya memberitahu si A untuk rujuk, apa yang ia katakan? Si A mengatakan “rujuk sendiri ajah”. Saya katakana “tidak mau jika merujuk sendiri”. Lalu si A mengatakan lagi “yaudah berdua dengan siswa ajah” Dengan gampangnya ia mengatakan seperti itu. Tidak berpikir apa yah? Pasien itu tanggung jawab kita, bukan siswa yang sedang praktik. Memang kalau ada masalah apa-apa mereka yang akan ditanya-tanya dan tanggung jawab dengan keluarga serta rumah sakit. Mengapa saya tak mau merujuk sendiri? Supaya jika terjadi hal yang tak diinginkan di jalan ada saksi mata dan bukan berstatus sebagai siswa praktik, bisa dijadikan tukar pikiran juga. Mungkin suatu saat si A tersebut mau kali yah merujuk sendiri dengan siswa? Karena itu yang ia katakan kepada saya dan saya kecewa dengan hal tersebut. Memang bisa yah merujuk itu sendiri? Tim code blue saja untuk pasien dewasa minimal 5-7 orang kemudian untuk neonates jika terjadi gagal napas dibutuhkan 3 orang. Itu sih yang saya ketahui. Maaf juga jika sok tahu. Yang pasti saya tak mau jika harus merujuk sendiri. Beruntungnya ada seorang teman yang masuk malam dan kebetulan ada di ruangan saat sore hari dan juga mau dengan sukarela tanpa diminta untuk menemani saya merujuk pasien tersebut. Yang pasti orang tersebut bukan si A.

Sekitar pukul 16.00 barulah kami berangkat ke rumah sakit tersebut karena harus mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan pasien dan rujukan pula. Sekitar pukul 18.30 sampailah kami di IGD rumah sakit rujukan karena macet. Sampai sana pasien yang kami bawa memang langsung ditangani oleh sang perawat pria dan ia mengatakan bahwa kami jangan pulang dulu sebelum sang pasien mendapat kamar dan dibawa ke ruang perawatan. Kemudian sekitar jam 19.00 wib keluarga di suruh mendaftarkan pasien di bagian pendaftaran. Entah dikonsulkan dahulu pasien yang kami bawa tersebut atau tidak, yang pasti kami menunggu hingga akhirnya sekitar pukul 20.00 wib sang perawat pria itu memberi surat permintaan kamar kepada keluarga untuk kemudian mendaftar lagi ke bagian pendaftaran.
 

Tak lama setelah kami sampai di IGD rumah sakit rujukan, ada lagi pasien bayi yang dirujuk dari RSSA Karawaci dengan spina bifida. Parahnya ia merujuk tidak dengan orang tua di ambulan namun memakai kendaraan pria karena macet maka sang orang tua pasien tersebut tak sampai bersamaan dengan ambulan dan juga surat rujukan hanya ada di keluarga pasien sehingga susah lah perawat IGD untuk melakukan anamnesa dan lainnya. Sehingga pelayanan pun menjadi terhambat yang seharusnya sudah ditangani menjadi terlambat.

Disela-sela menunggu tersebut dan juga ada perawat dari RSSA Karawaci yang juga merujuk pasien perinatologi, tiba-tiba sang perawat pria menunjukkan kepada kami surat rujukan yang berasal dari rumah sakit kami.
“ini pasienmu bukan” kata sang perawat pria.
“dari RSU sih, tapi bukan dari ruangan kami” kata kami (aku dan teman) sambil melihat dan membaca sekilas surat tersebut.
“tapi rujukannya dari rumah sakitmu kan?” kata sang perawat pria sambil menunjukkan kepala surat rujukan tersebut
Karena tak bisa mengelak maka kami pun menjawab “iya”
“nih pasiennya kejang, ada rujukan tanpa ambulans dan perawat”
“pulang paksa kali” jawab kami berusaha untuk mengelak
“kalau pulang paksa ada keterangannya, masalah nih” kata perawat pria dan kami hanya bisa diam setelah itu ia pun pergi.

Akhirnya perawat RSSA itu pun mengetahui soal perawat pria yang menunjukkan kepada kami sebuah surat rujukan. Kami pikir itu hanya teguran sebagai peringatan dan pemberitahuan saja. Saat perawat pria itu pergi saya menyuruh teman untuk mengontak orang yang kira-kira berasal dari ruangan pasien itu, namun nihil karena orang yang kami kontak tak mengetahui. Ya sudah dengan tenang dan santai kami menunggu pasien yang memang kami rujuk dari awal dan bukan pasien yang kami temukan tiba-tiba di rumah sakit rujukan.

Walaupun pada pukul 20.00 wib pasien yang kami bawa dari ruang perinatologi sudah ada tempat, namun kami masih tetapi harus menunggu yaitu menunggu diantar. Karena itulah jawaban yang saya dapat saat bertanya kepada perawat pria yang sedari awal menerima pasien tersebut. Karena penasaran saya pun tanya lagi “diantar jam berapa?” dan ia hanya menjawab” sekitar jam 9 atau setengah sepuluh”. Tanpa bertanya lagi kerana ia pun telah pergi, saya jadi bingung kenapa baru diantar jam segitu. Tapi ya sudahlah akhirnya saya tunggu saja sampai jam itu tiba. Usut punya usut saat perawat pria tersebut operan dia menyebutkan bahwa ruang perawatan untuk pasien yang kami bawa dengan ambulan baru bisa diantar malam karena ruangannya baru siapa sekitar jam segitu. Entahlah.

Tibalah sekitar pukul 22.00 saat sang pasien yang kami bawa siap diantar ke ruangan, tiba-tiba sang dokter yang jaga malam memanggil kami sebagai perawat dari RSU dan menunjukkan pasien yang kejang tadi yang membawa rujukan tanpa perawat dan ambulan. Dokter tersebut menyatakan bahwa pasien itu butuh PICU dan tidak tahu apakah ada tempat atau tidak, jika tak ada tempat maka kami harus membawa kembali pasien kejang yang berasal dari ruang anak ke RSU. Kami berusaha mengelak karena itu bukan pasien dari ruangan kami. Namun sang dokter mengatakan bahwa tapi masih RSU kan? Masih tanggung jawab rumah sakit sana. Karena bingung maka langsunglah kami menelepon kepala ruang, sambil menunggu keputusan kami disuruh oleh sang dokter untuk menganamnesa keluarga pasien kejang tersebut.

Kami menanyakan bagaimana ia bisa sampai IGD RSAB ini. Ia menjawab keluar rumah sakit awal sekitar jam 4 sore kemudian ia pulang dulu dan langsung ke IGD RSAB ini dengan taxi. Kemudian kami pun menanyakan apakah ia boleh pulang atau pulang paksa. Namun sang keluarga mengaku ia boleh pulang, ia pun mengatakan saat pagi sang dokter bilang nanti dirujuk pakai ambulan namun saat sore sang perawat ruang anak bilang rujuk lepas jadi tidak pakai ambulan. Karena masih penasaran, kami pun menanyakan apa saja barang yang dibawa atau diberikan dari RS awal. Ia mengatakan hanya surat rujukan ini dan hasil rontgen. Maksudnya kami diberikan pesanan pulang atau tidak pasien ini? Karena ia mengatakan bahwa diperbolehkan pulang. Walaupun saat di IGD RSAB rujukan pasien kejang. Namun kami tidak tahu saat pulang kondisinya seperti apa, karena sang keluarga mengatakan boleh pulang. Tadinya jika ada pesanan pulang kami akan minta untuk melihat apakah benar sang pasien boleh pulang atau pulang paksa dan juga anjuran selanjutnya? Namun karena bukti tersebut tak ada ya sudah susah juga kami mengelak kepada pihak RSAB rujukan itu.

Akhirnya kami pun mendapat kabar dari RSU bahwa pasien kejang tersebut jika memang keluarga mau balik lagi silakan saja dengan catatan belum tentu ada tempat dan kemungkinan jika tempat penuh maka stay saja di IGD RSU. Karena keluarga setuju maka setelah kami mengantar pasien dari perinatology ke ruang perawatan yang memang sudah ada sejak jam 8an tadi, maka saat pulang kami membawa pasien kejang yang berasal dari ruang anak yang membawa rujukan tanpa ambulan dan perawat.

Sesuatu dan pengalaman banget. Merujuk pasien yang kemudian saat pulang membawa pasien balik dengan pasien yang berbeda dan kami tidak tahu apa-apa walaupun asal sang pasien adalah dari RSU atau RS yang sama.

Saat paginya inilah info yang didapatkan

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah jika pasien seperti kasus tersebut tak diberikan pesanan pulang sebagai bukti? Karena menurut info yang saya dapat status pasien keluar rumah sakit adalah pulang dan bukan rujuk walaupun diberikan rujukan. Sekalipun dikatakan rujuk lepas, menurut peraturan tidak ada ataupun tidak boleh rujuk lepas. Itulah yang membingungkan dan belum terjawab sehingga membuat saya masih penasaran.


Selasa, 07 Juni 2016

hujan

HUJAN-HUJANAN

Sering sekali bapak mengantar dan menjemputku. Dalam keadaan apapun selama ia masih merasa sanggup maka akan dilakukannya. Sakit sekalipun terkadang ia tetap mengantar dan menjemput saya. Termasuk ketika cuaca tak mendukung. Saat hujan lebat dan besar pun ia tetap mengantar saya bekerja di malam hari menggunakan motornya.
Begitulah saat beberapa waktu lalu jika tak salah selasa malam 24 mei 2016 hujan sangat besar dan lebat sekali dan saat itu pun saya harus pergi bekerja dinas malam. Maka dengan jas hujan dan motornya bapak tetap mengantar saya. Jalanan sudah banjir dan penglihatan sudah terhalang dengan rintik hujan ditambah suasana gelap hanya lampu sorot dari motor karena kebetulan lampu jalan mati. Diperjalanan saya tak tenang karena khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Hingga akhirnya sampailah saya di rumah sakit. Walaupun pakai jas hujan tetap saja pakaian saya basah karena lebatnya hujan. Alhamdulillahnya setelah itu hujan tak begitu lebat seperti awal. Alhamdulillah juga bapak baik-baik saja sampai di rumah.
Saya merasa sangat beruntung mempunyai orang tua seperti bapak yang selalu setia menunggu, mengantar dan menjemput saya. Sungguh sebenarnya saya terkadang merasa tak enak dengannya dan secara lisan memang saya tak pernah memintanya untuk diantar jemput. Namun keadaanlah yang membuat seperti ini. Sekalipun saya mempunyai motor, saya tak yakin juga diijinkan membawanya dimalam hari. Jadi mau bagaimana lagi? Jika tak diantar atau dijemput bagaimana saya pulang atau pergi untuk hal yang penting jika kondisinya sudah malam?
Bukan hanya untuk bekerja diantar dan jemput. Saat saya kuliah pun bapak masih mengantar saya berangkat. Walaupun tidak dijemput. Padahal saat berangkat sebenarnya saya masih bisa sendiri memakai angkutan umum. Namun terkadang sebelum saya siap bapak telah siap terlebih dahulu untuk mengantar saya. Saya pun terkadang berpikir tidak akan diantar namun ternyata salah. Karena ternyata bapak telah didepan dengan motornya.

Subhanallah jujur dari kecil saat saya masih sekolah menengah hingga sekarang saya bekerja dan kuliah lagi bapak masih dengan setia mengantar jemput. Saya yakin mungkin tak semua ayah seperti itu. Karena cerita teman, selama ia sekolah atau selama ini ia hanya pernah diantar dan jemput sebanyak dua kali itupun saat masih kanak-kanak dan selebihnya tak pernah lagi. Saat saya mengetahui itu saya merasa sangat beruntung mempunyai bapak yang amat sangat sayang terhadap anaknya entah karena saya anak perempuan satu-satunya atau bukan. Namun saya rasa itu bukanlah satu-satunya alasan.

menunggu

MENUNGGU DUA JAM LEBIH

Sungguh sangat sabar dan setia sang ayah karena telah dengan sabar menunggu sang anak keluar dari rumah sakit dan membawanya pulang ke rumah. Bayangkan ia harus menunggu sang anak selama kurang lebih dua jam. Karena sang anak sedang berada di rumah sakit lain untuk merujuk pasiennya. Rasa tak enak dengan sang ayah sesungguhnya menggelayuti di hati sang anak. Namun mau bagaimana lagi? Jikalau ia tak dijemput oleh sang ayah bagaimana ia bisa pulang ke rumah? Karena jika sudah malam tak ada lagi angkutan umum.
Itulah yang terjadi terhadap diri saya sewaktu bersama teman merujuk pasien ke sebuah rumah sakit di luar kota tepatnya di daerah Jakarta barat pada kamis 26 mei 2016. Berangkat dari rumah sakit sekitar jam 4 sore namun sampai di rumah sakit luar kota sekitar jam setengah tujuh karena macet. Kemudian baru selesai hingga sang pasien masuk ruang perawatan sekitar jam sebelas malam. Jadilah saya sampai ke rumah sakit asal sekitar jam setengah dua belas beruntung saat pulang tidak macet. Sehingga bisa cepat sampai.
Seharusnya jika saya dinas sore normal seperti biasa sekitar jam sembilan sudah keluar rumah sakit dan pulang. Saat itu seperti biasa bapak menjemput saya tepat jam sembilan. Saya pun mengabari bahwa saya sedang berada di rumah sakit lain sedang merujuk pasien yang entah kapan selesainya? Beruntungnya bapak juga tidak marah-marah dan tidak banyak tanya padahal saya mengabarinya hampir jam sembilan dimana bapak telah di rumah sakit. Akhirnya karena saya baru selesai merujuk sekitar jam sebelas malam jadilah bapak dengan setia menunggu saya pulang selama dua jam lebih. Setelah selesai dan keluar rumah sakit menemui bapak saya pun segera meminta maaf karena telah membuatnya menunggu lama. Jadilah saya sampai rumah sekitar jam dua belas malam. Makan kemudian langsung tidur.