apurus rinufa

tulisan sebagai pengingat terutama untuk diri sendiri dan bukan bermaksud untuk menggurui atau apapun. sekedar share dan eksplor saja. maaf jika tak berkenan. trima kasih.

Minggu, 01 Maret 2020

FROM FACEBOOK "SULUNG YANG KU BENCI"

POSTINGAN DARI FACEBOOK YANG SAYA COPY
By Marisa Hermiati
Sulung yang Ku Benci
Anissa Qurrota Ayyuni namanya, anak perempuan penyejuk hati kedua orangtua. Buah hati pertamaku dan suamiku. Di penantian tahun ke dua, saat aku nyaris diceraikan suami karna tak kunjung hamil, ia datang mengubah mendung menjadi terang. Dua garis merah membuat seisi rumah bahagia, tangis manja pertamanya menjadi suka cita. Anak pertama, cucu pertama, keponakan pertama, Ia sangat dinanti. Semua perhatian tertuju padanya, akupun nyaris cemburu terhadap putriku sendiri.
Namun tak berlangsung lama, aku kembali hamil saat Nisa berusia 3 bulan. Genap 1 tahun Nisa sudah mempunyai seorang adik perempuan, Annida namanya. Paras Nida berbanding terbalik dengan Nisa. Jika Nisa berkulit gelap seperti Bapaknya, Nida terlahir bak salju, putih meneduhkan, membuat kagum mata yang melihat.
Di ulang tahun Nida yang pertama aku menyadari bahwa aku tengah hamil anak ketiga. Semua berharap akan ada anak laki-laki sebagai pelengkap kebahagiaan. Namun, kelahiran Annika membuat suamiku justru semakin penasaran, ingin aku segera hamil kembali agar mendapat anak laki-laki.
Nika sama seperti Nida, nyaris mirip seperti anak kembar, sifatnya juga mirip, mereka tak pernah menyusahkanku. Berbeda dengan Nisa yg berani menentangku. Jika keinginannya tidak dituruti dia akan menangis dan teriak hingga seisi rumah keluar menghampirinya. Terlebih saat usianya 5 tahun, saat si kembar Ammar dan Akmal lahir, kelakuannya semakin menjadi, saat aku marah maka dia akan berlindung di balik badan Neneknya. Saat ini aku mulai membencinya, terlebih banyak yg membelanya ketika aku memarahinya.
Ada saja tingkahnya yg memancing emosiku. Dia sangat aktif sampai tiada hari tanpa membuat rumah bak kapal pecah, suaranya sangat nyaring memekakkan telinga, dia suka bermain di luar rumah bersama teman-temannya hingga lupa waktu, baju seragam sekolahnya bisa berubah warna, putih saat berangkat dan menjadi coklat saat pulang sekolah. Semua tingkah lakunya membuatku geram. Sudah berkali-kali dia kucambuk, tapi tetap diulangi. Sudah berkali-kali dia kuusir, tapi dia tetap disini. Seperti tak ada jeranya.
Pernah suatu saat ia membohongiku, pamit untuk mengaji, nyatanya ia malah main dengan teman-temannya mencari kecebong di selokan air. Aku naik pitam, kuseret Nisa sampai ke rumah, ku robek-robek buku mengajinya, aku buang semua bajunya ke jalan, jika tak ada neneknya mungkin Nisa sudah mati ku hajar.
Tapi itulah Nisa, dia akan merayuku, meminta maaf, bersujud di kaki ku, membantu semua pekerjaan rumah, dia tidak akan kemana-mana sampai aku memaafkannya. Tanpa bosan, tanpa kenal lelah membujuk serta merayuku, agar kuberi maafku. Kadang terpaksa aku memaafkannya atas bujukkan dari Nenek dan Bapaknya. Namun, bukan Nisa namanya jika ia tak mengulangi perbuatannya. Suamiku bilang, sikapku terhadap Nisa sudah keterlaluan, tapi tahukan dia bahwa Nisa yang sebenarnya kelewatan? Pembelaan terhadap anak itu justru membuatku makin membencinya.
Aku akan sangat bahagia jika Nida, Nika, Ammar dan Akmal mendapat nilai 80 saat ujian. Tapi, aku merasa biasa saja saat Nisa menunjukkan angka 100 di kertas ujiannya, atau saat namanya diumumkan sebagai peringkat pertama di kelasnya, bahkan saat ia memperoleh juara pertama pada olympiade matematika se jabodetabek.
Aku yang menangis tak karuan saat harus melepas Nida ke Yogyakarta dan Nika ke Bandung untuk melanjutkan kuliah, juga saat kedua jagoanku pergi menempuh pendidikan agar menjadi TNI. Namun, tak ada sama sekali air mata yang menetes saat mengetahui Nisa mendapat beasiswa dan harus pergi ke Sudan, tempat yang sangat jauh dibanding Yogyakarta dan Bandung.
Nisa memang kumasukkan ke pesantren setelah lulus SD, agar aku merasa tentram di rumah. Aku jarang menjemput Nisa dengan alasan supaya Nisa mandiri dan supaya hafalan Al-qurannya tidak terganggu. Untungnya Nisa menurut untuk tidak terlalu sering pulang, hanya Bapak dan Neneknya yang sering mengunjunginya di pesantren. Tapi, kalau Nisa sudah di rumah, rumah akan kembali ramai seperti pasar. Dia akan banyak bercerita, banyak tertawa dan banyak makan, membuatku ingin cepat-cepat mengembalikannya ke pesantren.
Walau Nisa berhasil menjadi Hafidzah di usianya yg ke 15 tahun, tapi itu tetap tak membuatku bangga kepadanya, seperti Bapak dan Neneknya yang sangat bahagia hingga meneteskan air mata. Berbeda saat aku mengetahui Nida dan Nika berhasil diterima menjadi ASN, aku sangat bahagia, tak henti-hentinya aku bercerita hingga seluruh penjuru kampung tau berita ini. Pun saat kembarku berhasil menjadi TNI aku bangga, aku jumawa. Padahal Nisa juga bekerja menjadi seorang guru di sebuah sekolah islam internasional di Jakarta dengan gaji dollar.
Nissa rutin memberiku uang bulanan dengan jumlah yang menurutku lumayan banyak, tapi aku anggap itu sebagai sebuah sikap yang wajar bagi seorang anak. Tapi, uang dua ratus ribu yang diberikan anakku yang lain kepadaku bisa membuatku mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada mereka.
Aku senang Nida menjadi ASN, menetap di Yogyakarta dan bersuamikan seorang ASN pula. Aku bahagia melihat Nika, seorang ASN yang bersuamikan seorang manager sebuah perusahaan swasta. Dan aku bangga dengan kembarku yang dapat mewujudkan impiannya menjadi TNI, membela kedaulatan Negara Republik Indonesia. Nisa, entah bagaimana menghadirkan rasa bangga di hatiku atasnya, padahal dia sudah berjuang menjadi hafidzah dan Insya Allah akan memakaikan jubah dan mahkota kelak padaku di hari akhir.
"Berbaik hatilah pada Nisa Bu, dia anakmu juga. Apa salah Nisa sampai Ibu begitu membencinya? Kasihan Nisa, dia selalu berusaha menjadi yang terbaik buat Ibu! Jangan karna kenakalannya sewaktu kecil menjadikan benci selamanya, ingat Bu, sekarang dia sudah besar sudah dewasa!" entah kali keberapa suamiku menasehatiku seperti itu. Setali tiga uang dengan Ibuku, bahkan sebelum meninggalpun Ibu berpesan agar aku bisa menyayangi Nisa dengan setulus hati. Mengapa hanya Nisa?
"Apa yang Nisa lakukan sepertinya selalu salah dimatamu Bu, adillah Bu, kita ini orang tua, kita ini panutan, apa salah Nisa sampai kamu seperti ini?"
"Salah Nisa karna dia anak kesayanganmu Pak dan cucu kesayangan Ibuku! Tapi kesalahan terbesarnya saat ini karna dia bodoh Pak, dia bodoh sudah melepas pekerjaannya demi menuruti keinginan suaminya yang hanya seorang guru! Dia bodoh karna sudah membeli rumah di samping rumah kita, sadar Pak, dia bakal jadi benalu buat kita nantinya!" penuh emosi aku menjawab pertanyaan suamiku, saat aku mengetahui bahwa sekarang Nisa tinggal tepat di samping rumahku dan terlebih saat ini dia hanya seorang ibu rumah tangga. Suamiku hanya diam menatapku, seperti tak percaya akan apa yang barusan didengarnya dari mulutku.
"Ibu.. Nisa minta maaf, Nisa tidak ada maksud ingin menjadi benalu bagi Ibu. Nisa hanya ingin..." kalimatnya terhenti saat tiba-tiba "braak.." suamiku jatuh tak sadarkan diri. Ya, itu hari terakhir aku melihat suamiku di dunia. Tak henti aku menangis, tak henti aku menyalahkan Nisa. Karena gara-gara membahas soal dia, penyakit jantung suamiku kambuh hingga menyebabkan ia meninggalkanku selamanya.
"Percuma kamu capek-capek menghafal Quran Nisa, percuma kamu Ibu masukkan pesantren kalau ujung-ujungnya kamu yang menjadi sebab meninggalnya Bapakmu!" Nisa hanya menunduk sesenggukan, sesekali terdengar lirih dari mulutnya "Ibu maafkan Nisa." Tapi aku tetap bergeming, aku tinggalkan Nisa untuk mengurus jenazah suamiku.
"Bu apa bisa segera kita mandikan Jenazahnya? Hari sudah semakin sore khawatir penguburannya kemalaman, lagian kasihan jenazahnya sudah sejak semalam disini, harus disegerakan". Tanya Pak Junaedi marbot masjid tempat tinggalku. Mataku nanar menatap sekeliling, aku mencari Nida, Nika, dan jagoan kembarku keseluruh penjuru rumah, tapi tak kutemukan, yang kulihat hanya Nisa, suaminya, beserta kedua anaknya yang sedari tadi membacakan ayat suci Al-quran di samping jenazah suamiku. Akhirnya terpaksa jenazah suamiku dikebumikan tanpa kehadiran keempat anakku yang lain, mereka baru datang keesokan harinya. Hanya dua hari mereka menemaniku, setelah itu mereka kembali ke rumah masing-masing dengan kesibukannya masing-masing. Dan aku harus kembali menahan rindu hingga datangnya hari Raya Idul Fitri. Biasanya di hari itu mereka semua akan berkumpul bersamaku.
Sejak hari itu hariku kelabu, tak ada semangatku lagi. Bahkan untuk sekedar mengisi perutku yang keroncongan aku enggan. Nisa setiap hari menemaniku, dia juga memasak untukku. Tapi hatiku tetap membatu, aku masih mendiaminya. Aku akan makan jika Nisa sudah pulang ke rumahnya, jika ia masih disini, walau dibujuk seperti apapun aku tak akan membuka mulut. Aku juga sering memarahinya dengan alasan sepele. Namun, bukan Nisa namanya jika tidak keras kepala. Keesokan harinya dia akan datang lagi, memasak buatku, membujuk aku supaya mau makan, meminta maaf padaku, terus seperti itu setiap hari seperti tidak ada pekerjaan lain.
"Nisa, sudah kamu telepon adik-adikmu? Kabari kalau Ibu dirawat supaya mereka kesini". Perintahku kepada Nisa yang tengah sibuk memencet-mencet ponselnya. Aku memang sudah lama mengidap diabetes, dan kali ini kambuh karena diam-diam aku meminum segelas teh kemasan yang kubeli di warung tanpa sepengetahuan Nisa, setelah minum teh itu kurasakan kepalaku berat, duniaku berputar, tiba-tiba gelap, kemudian saat aku terbangun aku sudah berada di rumah sakit dengan selang di hidung juga di tanganku, tak lupa Nisa di sampingku.
"Bu, besok kalau mau minum teh manis bilang Nisa ya, biar Nisa bikinin pake gula khusus diabet". Ucapnya sambil terus sibuk dengan ponselnya. Aku menjawabnya dengan anggukan yang mungkin tak terlihat olehnya.
"Bu, ga ada yang diangkat, tapi Nisa sudah kirim pesan, semoga segera dibalas ya bu."
"Coba sini ibu yang telepon!" Kurebut ponsel dari tangan Nisa, kutekan nomor keempat anakku satu persatu, tak ada jawaban, hanya suara operator yang kudengar.
Hari berganti hari, pagi berganti siang, sore berganti malam, hingga aku diperbolehkan pulang ke rumah oleh dokter, ke empat anakku tak ada yang datang.
"Bu ini semalam adik-adik balas pesan Nisa, Nida katanya ga bisa ke Jakarta karna anak-anaknya lagi ujian Bu, Nika juga berhalangan Bu katanya lagi ikut pelatih di Malang, terus aku sms istrinya kembar, katanya mereka lagi ada pendidikan Bu, baru pulang bulan depan, dan ga bisa terima telepon selain hari libur. Jangan sedih ya Bu, mereka doain Ibu ko, semoga ibu segera pulih". Kuseka air mataku, ada emosi yang kuat bergejolak di hati.
"Terus kamu kenapa masih disini Nisa? ga ada kesibukan lain?" hardikku.
"Nisa di sini karna memang kewajiban Nisa ada disini Bu. Nisa meninggalkan kesibukan Nisa yang lain untuk merawat Ibu, Insya Allah Bang Khalif ridho karna dia yang suruh Nisa jaga Ibu, si kembar Wafa sama Wildan dijaga sama mertua Nisa di rumah, dari kemarin mereka nanyain terus kapan Nenek pulang?" ucap Nisa lembut sambil merangkul tubuh rentaku, aku merasa ada kehangatan yang selama ini belum pernah kurasa. "Ibu, maafin Nisa ya!" ucapnya lirih sambil menyeka air matanya.
"Neneeek!" belum sempat kujawab maaf Nisa tiba-tiba cucuku si kembar Wafa dan Wildan beserta ayahnya Khalif datang menjemputku.
Di rumah sikapku terhadap Nisa tak banyak berubah. Sekarang aku mengikuti beberapa pengajian, agar aku tak terus-terusan meratapi kepergian suamiku. Biasanya saat aku pulang dari pengajian, rumahku sudah rapi, makanan sudah tersedia di meja, dan Nisa sudah pulang ke rumahnya. Tapi kali ini, saat aku memasuki pekarangan rumahku, kulihat sandal Nisa ada di depan pintu. Setelah kuucapkan salam, akupun masuk ke dalam dan menemukan Nisa yang berlari ke arahku, mencium tanganku dan mempersilahkan aku untuk segera makan.
"Tumben kamu masih disini Nisa? Apa ada kabar dari adik-adikmu?" tanyaku. Kulihat Nisa menggeleng sambil menundukkan kepalanya.
"Bu maafin Nisa."
"Kamu ini Nisa, dari dulu selalu gigih minta maaf ke Ibu, tapi selalunya kamu ulangi lagi itu perbuatanmu!"
"Nisa dulu nakal banget ya bu? Maafin Nisa ya Bu, oiya Ibu inget foto ini ga?" ucapnya seraya menghampiriku dan membuka album foto keluarga yang hampir aku lupakan keberadaannya. "Ini Ibu sama Bapak waktu muda ya, Ibu cantik ga kaya Nisa, hitam, pendek, gendut hehe" Nisa terus mengoceh hingga sampai pada satu buah foto, foto dirinya sedang mengenakan baju muslim buatanku.
"Ini bajunya masih Nisa simpen lo bu, buat Wafa kalau sudah besar, Nisa suka banget sama baju ini, hijau warna favorit Nisa" aku tersenyum mendengarnya, setelah itu wajahnya berubah menjadi murung, lama ia terdiam sebelum kembali melanjutkan kata-katanya.
"Nisa inget, ini hari pertama Nisa mengaji di masjid, tapi malah bikin ibu marah karena Nisa main di selokan air, maafin Nisa ya bu" kemudian ia mengambil sesuatu dari kantung gamisnya. Dan aku kaget bukan kepalang, itu cincin pernikahanku dengan suamiku yang telah lama hilang. "Nisa sebenarnya bukannya cari kecebong Bu awalnya, Nisa cari ini, kata Bapak cincin Ibu masuk keselokan, karena cincinnya udah ketemu, jadi Nisa sekalian cari kecebong, dan jadi bikin Ibu marah". Lidahku kelu, tak ada sepatah katapun keluar dari bibirku.
"Ibu inget ga waktu Ibu mau pergi arisan, Nisa nangis teriak-teriak bikin Ibu marah, itu karna Nisa pengen Ibu di rumah sama Nisa, mumpung adik-adik semuanya lagi pergi ngaji. Nisa juga si yang salah Bu, Nisa ga tau cara bilang ke Ibu bagaimana, jadinya malah bikin Ibu marah terus, Nisa sadar bu, Nisa kecil itu menyebalkan, selalu bikin ibu marah. Tapi Nisa sangat berterima kasih sama Ibu karna masukin Nisa ke pesantren, Nisa belajar banyak disana, terutama tentang cara menghormati dan menyayangi Ibu, Insya Allah Nisa akan berusaha menjadi anak yang baik, Nisa akan merawat Ibu sampai kapanpun, Nisa akan selalu sayang sama Ibu walaupun Ibu membenci Nisa". Tiba-tiba dada ini sakit, melihat air matanya mengalir, bahunya berguncang, wajahnya tertunduk.
Merah pipiku, seperti ada tamparan keras yang tengah mendarat di sana. Lemas tubuhku seolah ada batu besar yang baru lepas dan merontokkan semua tulangku. Aku turun dari kursi, merangkak menghampiri Nisa, memegang kakinya dan bersujud di sana "Nisa maafkan Ibu" Nisa terkejut, lalu dengan sigap memegang tanganku, menjauhkan kakinya dari aku. Aku tak peduli, aku tetap bersimpuh disana walau ia terus melarangku, air mataku tumpah ruah. "Nisa maafkan Ibu, selama ini Ibu salah, selama ini Ibu dzalim sama kamu, selama ini Ibu yang bodoh, kamu hanya ingin bersama Ibu tapi Ibu ga pernah sadar, kamu hanya anak kecil yang Ibu paksa menjadi dewasa, Ibu terlalu sibuk dengan adik-adikmu, Ibu.. Ibu.. Ibu hanya cemburu kepadamu sayang, karena bapakmu juga nenekmu sangat menyayangimu dibanding Ibu."
"Iya Ibu, sudah.. sudah.. Nisa sama sekali tidak menganggap Ibu salah, Nisa hanya berusaha agar Ibu sayang sama Nisa, Ibu.. Nisa sangat sayang sama Ibu" Nisa memelukku, menangis sesenggukan dipelukanku, begitu juga dengan aku.
"Nisa.. Terima kasih sudah memberi banyak pelajaran buat Ibu, terima kasih sudah menjadi Hafidzah, itu hadiah terindah buat Ibu, mulai saat ini, di sisa usia Ibu, Ibu akan menyayangi Nisa dengan setulus hati Ibu, seperti pesan nenek dan bapakmu, Ibu janji."
Saat itu hubunganku dan Nisa terus membaik, Nisa sangat telaten merawatku dan juga Ibu mertuanya. Nisa mengajakku mengunjungi adik-adiknya, dia bilang "Silaturahmi tidak selalu Ibu yang harus dikunjungi, mungkin adik-adik sibuk, sesekali boleh kan Ibu yang mengunjungi mereka?" dan aku sangat senang berkeliling mengunjungi anak-anakku. Bahkan Nisa dan suaminya memberangkatkanku dan Ibu mertuanya ke tanah suci.
Sulungku yang kubenci, kini malah sangat berbakti kepadaku, aku sangat bersyukur di hari tuaku masih ada anak yang membersamaiku. Aku sadar sebenarnya tidak ada anak yang nakal, sulungku hanya ingin perhatianku, namun ia sulit untuk mengungkapkannya, dan aku yang lambat menyadarinya. Di usianya yang masih sangat kecil dia harus berbagi kasih sayang dengan keempat adiknya. Sulungku yang dulu sangat kunanti, sulungku yang kupinta kehadirannya pada setiap doaku, dan ia yang menjadi guru pertama bagiku, mengajarkanku bagaimana menjadi Ibu. Terima kasih anak sulungku, maafkan Ibu yang tak sempurna.
Repost mbak Popie Susanty🥰