RUJUK BAWA BALIK
Kamis 26 mei 2016 kebetulan saat itu
sedang dinas sore dan ada rencana pasien perinatologi dengan atresia yeyenum yang
akan dirujuk ke rumah sakit lain jika memang tempatnya ada. Mengingat sang
dokter di rumah sakit kami sedang tidak ada selama beberapa waktu sedangkan
sang pasien harus segera dioperasi maka dari itu sang dokter menyarankan agar
pasien tersebut di rujuk ke rumah sakit lain yang mempunya dokter bedah anak.
Sekitar pukul 14.00 wib sang keluarga
mengabarkan bahwa ada tempat untuk sang pasien di rumah sakit (RSAB) rujukan.
Kemudian konfirmasilah kami kepada rumah sakit rujukan itu dan sekitar pukul
15.00 wib kami mendapat kabar dari mereka untuk membawa pasiennya sekarang.
Karena itu maka langsunglah kami membawanya.
Sang teman mengatakan kepada saya bahwa “rujuknya
dengan si A yah”. Saya jawab “yaudah tak apa yang penting tidak sendiri”. Saat
saya memberitahu si A untuk rujuk, apa yang ia katakan? Si A mengatakan “rujuk
sendiri ajah”. Saya katakana “tidak mau jika merujuk sendiri”. Lalu si A
mengatakan lagi “yaudah berdua dengan siswa ajah” Dengan gampangnya ia
mengatakan seperti itu. Tidak berpikir apa yah? Pasien itu tanggung jawab kita,
bukan siswa yang sedang praktik. Memang kalau ada masalah apa-apa mereka yang
akan ditanya-tanya dan tanggung jawab dengan keluarga serta rumah sakit.
Mengapa saya tak mau merujuk sendiri? Supaya jika terjadi hal yang tak
diinginkan di jalan ada saksi mata dan bukan berstatus sebagai siswa praktik,
bisa dijadikan tukar pikiran juga. Mungkin suatu saat si A tersebut mau kali
yah merujuk sendiri dengan siswa? Karena itu yang ia katakan kepada saya dan
saya kecewa dengan hal tersebut. Memang bisa yah merujuk itu sendiri? Tim code
blue saja untuk pasien dewasa minimal 5-7 orang kemudian untuk neonates jika
terjadi gagal napas dibutuhkan 3 orang. Itu sih yang saya ketahui. Maaf juga
jika sok tahu. Yang pasti saya tak mau jika harus merujuk sendiri. Beruntungnya
ada seorang teman yang masuk malam dan kebetulan ada di ruangan saat sore hari
dan juga mau dengan sukarela tanpa diminta untuk menemani saya merujuk pasien
tersebut. Yang pasti orang tersebut bukan si A.
Sekitar pukul 16.00 barulah kami
berangkat ke rumah sakit tersebut karena harus mempersiapkan segala sesuatunya
yang berhubungan dengan pasien dan rujukan pula. Sekitar pukul 18.30 sampailah
kami di IGD rumah sakit rujukan karena macet. Sampai sana pasien yang kami bawa
memang langsung ditangani oleh sang perawat pria dan ia mengatakan bahwa kami
jangan pulang dulu sebelum sang pasien mendapat kamar dan dibawa ke ruang
perawatan. Kemudian sekitar jam 19.00 wib keluarga di suruh mendaftarkan pasien
di bagian pendaftaran. Entah dikonsulkan dahulu pasien yang kami bawa tersebut
atau tidak, yang pasti kami menunggu hingga akhirnya sekitar pukul 20.00 wib sang
perawat pria itu memberi surat permintaan kamar kepada keluarga untuk kemudian
mendaftar lagi ke bagian pendaftaran.
Tak lama setelah kami sampai di IGD
rumah sakit rujukan, ada lagi pasien bayi yang dirujuk dari RSSA Karawaci
dengan spina bifida. Parahnya ia merujuk tidak dengan orang tua di ambulan
namun memakai kendaraan pria karena macet maka sang orang tua pasien tersebut
tak sampai bersamaan dengan ambulan dan juga surat rujukan hanya ada di
keluarga pasien sehingga susah lah perawat IGD untuk melakukan anamnesa dan
lainnya. Sehingga pelayanan pun menjadi terhambat yang seharusnya sudah
ditangani menjadi terlambat.
Disela-sela menunggu tersebut dan juga
ada perawat dari RSSA Karawaci yang juga merujuk pasien perinatologi, tiba-tiba
sang perawat pria menunjukkan kepada kami surat rujukan yang berasal dari rumah
sakit kami.
“ini pasienmu bukan” kata sang perawat
pria.
“dari RSU sih, tapi bukan dari ruangan
kami” kata kami (aku dan teman) sambil melihat dan membaca sekilas surat
tersebut.
“tapi rujukannya dari rumah sakitmu
kan?” kata sang perawat pria sambil menunjukkan kepala surat rujukan tersebut
Karena tak bisa mengelak maka kami pun
menjawab “iya”
“nih pasiennya kejang, ada rujukan tanpa
ambulans dan perawat”
“pulang paksa kali” jawab kami berusaha
untuk mengelak
“kalau pulang paksa ada keterangannya, masalah
nih” kata perawat pria dan kami hanya bisa diam setelah itu ia pun pergi.
Akhirnya perawat RSSA itu pun mengetahui
soal perawat pria yang menunjukkan kepada kami sebuah surat rujukan. Kami pikir
itu hanya teguran sebagai peringatan dan pemberitahuan saja. Saat perawat pria
itu pergi saya menyuruh teman untuk mengontak orang yang kira-kira berasal dari
ruangan pasien itu, namun nihil karena orang yang kami kontak tak mengetahui.
Ya sudah dengan tenang dan santai kami menunggu pasien yang memang kami rujuk
dari awal dan bukan pasien yang kami temukan tiba-tiba di rumah sakit rujukan.
Walaupun pada pukul 20.00 wib pasien
yang kami bawa dari ruang perinatologi sudah ada tempat, namun kami masih
tetapi harus menunggu yaitu menunggu diantar. Karena itulah jawaban yang saya
dapat saat bertanya kepada perawat pria yang sedari awal menerima pasien
tersebut. Karena penasaran saya pun tanya lagi “diantar jam berapa?” dan ia
hanya menjawab” sekitar jam 9 atau setengah sepuluh”. Tanpa bertanya lagi
kerana ia pun telah pergi, saya jadi bingung kenapa baru diantar jam segitu.
Tapi ya sudahlah akhirnya saya tunggu saja sampai jam itu tiba. Usut punya usut
saat perawat pria tersebut operan dia menyebutkan bahwa ruang perawatan untuk
pasien yang kami bawa dengan ambulan baru bisa diantar malam karena ruangannya
baru siapa sekitar jam segitu. Entahlah.
Tibalah sekitar pukul 22.00 saat sang
pasien yang kami bawa siap diantar ke ruangan, tiba-tiba sang dokter yang jaga
malam memanggil kami sebagai perawat dari RSU dan menunjukkan pasien yang
kejang tadi yang membawa rujukan tanpa perawat dan ambulan. Dokter tersebut
menyatakan bahwa pasien itu butuh PICU dan tidak tahu apakah ada tempat atau
tidak, jika tak ada tempat maka kami harus membawa kembali pasien kejang yang
berasal dari ruang anak ke RSU. Kami berusaha mengelak karena itu bukan pasien
dari ruangan kami. Namun sang dokter mengatakan bahwa tapi masih RSU kan? Masih
tanggung jawab rumah sakit sana. Karena bingung maka langsunglah kami menelepon
kepala ruang, sambil menunggu keputusan kami disuruh oleh sang dokter untuk
menganamnesa keluarga pasien kejang tersebut.
Kami menanyakan bagaimana ia bisa sampai
IGD RSAB ini. Ia menjawab keluar rumah sakit awal sekitar jam 4 sore kemudian
ia pulang dulu dan langsung ke IGD RSAB ini dengan taxi. Kemudian kami pun
menanyakan apakah ia boleh pulang atau pulang paksa. Namun sang keluarga
mengaku ia boleh pulang, ia pun mengatakan saat pagi sang dokter bilang nanti
dirujuk pakai ambulan namun saat sore sang perawat ruang anak bilang rujuk
lepas jadi tidak pakai ambulan. Karena masih penasaran, kami pun menanyakan apa
saja barang yang dibawa atau diberikan dari RS awal. Ia mengatakan hanya surat
rujukan ini dan hasil rontgen. Maksudnya kami diberikan pesanan pulang atau
tidak pasien ini? Karena ia mengatakan bahwa diperbolehkan pulang. Walaupun
saat di IGD RSAB rujukan pasien kejang. Namun kami tidak tahu saat pulang
kondisinya seperti apa, karena sang keluarga mengatakan boleh pulang. Tadinya
jika ada pesanan pulang kami akan minta untuk melihat apakah benar sang pasien
boleh pulang atau pulang paksa dan juga anjuran selanjutnya? Namun karena bukti
tersebut tak ada ya sudah susah juga kami mengelak kepada pihak RSAB rujukan
itu.
Akhirnya kami pun mendapat kabar dari
RSU bahwa pasien kejang tersebut jika memang keluarga mau balik lagi silakan
saja dengan catatan belum tentu ada tempat dan kemungkinan jika tempat penuh
maka stay saja di IGD RSU. Karena keluarga setuju maka setelah kami mengantar
pasien dari perinatology ke ruang perawatan yang memang sudah ada sejak jam 8an
tadi, maka saat pulang kami membawa pasien kejang yang berasal dari ruang anak
yang membawa rujukan tanpa ambulan dan perawat.
Sesuatu dan pengalaman banget. Merujuk
pasien yang kemudian saat pulang membawa pasien balik dengan pasien yang
berbeda dan kami tidak tahu apa-apa walaupun asal sang pasien adalah dari RSU
atau RS yang sama.
Saat paginya inilah info yang didapatkan
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah
jika pasien seperti kasus tersebut tak diberikan pesanan pulang sebagai bukti?
Karena menurut info yang saya dapat status pasien keluar rumah sakit adalah
pulang dan bukan rujuk walaupun diberikan rujukan. Sekalipun dikatakan rujuk
lepas, menurut peraturan tidak ada ataupun tidak boleh rujuk lepas. Itulah yang
membingungkan dan belum terjawab sehingga membuat saya masih penasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar