SERASA
MAU COPOT
29 oktober 2016
Pulang dinas pagi saat itu saya berniat
menemui teman di sekitar kebon nanas tangerang untuk mengantar sertifikatnya
yang selama ini saya simpan. Seperti biasa saya selalu menggunakan angkuta
kota. Saat itu angkot yang saya tumpangi memang tak banyak penumpang bahkan
hanya tinggal saya sendiri dan karena macet maka angkot pun melewati jalan yang
bukan seharusnya untuk menghindari macet. Saat lewat jalan lain tiba-tiba saja
angkot berhenti dan saya lihat sudah ada motor dengan penumpangnya. Entah apa
yang persis terjadi saya pun tak tahu karena saat itu saya tak memperhatikan
jalan, sibuk dengan handphone khawatir teman saya menunggu. Saya rasa
sepertinya angkot tersebut seperti hendak menabrak motor. Saya pikir semua akan
selesai dengan meminta maaf. Namun ternyata tidak karena setelah itu sang
pengendara motor tiba-tiba saja menonjok supir angkot. Keduanya tak ada yang
mau mengalah. Sama-sama saling merasa benar. Tidak sang pengendara motor dan
tidak juga sang supir angkot. Jalanan pun saat itu menjadi semakin macet.
Karena angkot dan motor tidak berjalan. Sedangkan di belakang angkot banyak
kendaraan lain yang menunggu karena akan melewati jalan tersebut. Akhirnya saya
turun dari angkot tersebut karena ingin segera menemui teman. Kemudian angkot
dan motor pun dipinggirkan agar kendaraan lain dapat lewat. Setelah itu
entahlah apa yang terjadi dengan supir angkot dan pengendara motor itu. Karena
saya langsung bergegas meninggalkan tempat tersebut. Saat kejadian itu rasanya
jantung terasa mau copot. Melihat secara langsung orang menonjok dengan sangat
marah. Sedangkan si supir angkot agak tak berdaya. Karena susah untuk melawan
pengendara motor itu.
Sang pengendara motor yang membawa
penumpang sangat marah seolah-olah dia tak pernah berbuat salah. Padahal
rasanya tak ada satu pun yang terluka. Yah tidak tahu juga apakah motornya
lecet atau tidak. Yang pasti saya rasa hal tersebut sebenarnya bisa
diselesaikan tanpa emosi. Tapi begitulah jika orang merasa selalu benar padahal
semua itu juga belum tentu. Tak mungkin juga dalam mengendarai motor dia tak
pernah sekalipun tak berbuat kesalahan seperti menyalip misalnya atau hal
lainnya. Jadi agak sombong juga lah si pengendara motor itu sampai mengejar
sang supir angkot. Supir angkot pun entah salah atau tidak, saya tak mendengar
ucapan maaf darinya. Hanya teriakan sang istri supir “tolong suami saya jangan
dipukuli”.
Dalam keadaan seperti itu sebenarnya
saya bingung apa yang harus saya lakukan. Di satu sisi saya tidak mengetahui
persis bagaimana kejadiannya yang tiba-tiba saja membuat sang pengendara motor
itu marah. Namun di sisi lain rasanya saya geram dengan aksi tonjok pengendara
motor yang menunjukkan bahwa dirinya seolah-olah paling benar. Maka akhirnya
saya pun memutuskan untuk pergi saja melanjutkan tujuan saya menemui teman dan
memberi sertifikat padanya. Namun tetap saja sepanjang jalan rasanya jantung
saya masih mau copot, cemas, gelisah dan deg-degan membuat saya takut hingga
akhirnya saya bertemu dengan teman dan menceritakan apa yang barusan saya
alami. Berumtunglah dia mengerti dan membuat aku sedikit tenang hingga akhirnya
aku pulang ke rumah dan meninggalkan temanku itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar